Dalam satu dasa warsa terakhir ini, pergerakan kaum Salafi-Wahabi di
Indonesia begitu massif. Saat ini kita tidak sulit menjumpai lelaki yang
berpenampilan “syaikh” dengan menggunakan gamis dan celana cingkrang,
lengkap dengan cambang dan jenggotnya yang menggantung. Sementara yang
perempuan, seluruh tubunya dibalut dengan kain, kecuali matanya. Busana
tersebut memang menjadi ciri khas kaum Salafi-Wahabi. Sekilas kita
menduga bahwa meraka adalah bagian dari kita. Lebih-lebih mereka selalu
berkoar dan mengklaim diri sebagai satu-satunya representasi kelompok
Ahlussunah wal Jama’ah. Jargon-jargon yang mereka teriakkan juga sangat
islami, misalnya “mari kembali kepada ajaran al-Quran dan Sunnah, tidak
ada tempat meminta kecuali kepada Allah” dan sebagainya.Sekilas gerakan puritan mereka, terkesan sangat islami, paling bertauhid, dan seterusnya. Tapi kita jangan silau, apalagi terjebak dalam kamuflase amaliah mereka. Mereka sesungguhnya adalah kelompok yang justru ingin mengikis habis amalan-amalan Ahlussunah wal Jama’ah versi NU khususnya dan umat Islam umumnya.
Buku ini mengulas rekam jejak sejarah “kelakuan” Salafi-Wahabi yang begitu ekstrem. Dikatakan ekstrem karena kelompok ini selalu memberi stempel kafir kepada umat Islam yang bertentangan dengan ajarannya. Mereka “mengisolasi diri” dalam komunitasnya, karena mengangap najis orang lain yang tidak satu “akidah” dengan mereka. Mereka menganggap wajib memusuhi, bahkan memerangi orang di luar mereka, kendati dia orang tuanya sendiri.
Sesungguhnya, Muhammad bin Abdil Wahhab, --sang pendiri Wahabi—dan para pengikutnya mempunyai catatan hitam dalam lembar sejarah pergerakan mereka. Orang-orang yang suka tawassul, ziarah kubur dan sebagainya dinilainya sebagai ahli bid’ah, kafir dan syirik. Karena itu, darah mereka diangggap halal. Dalam prakteknya, kelompok Wahabi tak segan-segan membunuh orang yang dianggap kafir itu, kemudian hartanya diambil sebagai harta rampasan (Hal. 2). Bahkan, seorang hakim, Utsman bin Mu’ammir dibunuh di dalam masjid usai shalat Jumat. Tidak hanya itu, istananya juga dihancurkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya lantaran dianggap mbalelo (Hal. 30).
Sebenarnya, ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab –dedengkot Wahabi-- ketika
itu banyak ditentang oleh umat Islam. Ayahnya sendiri, Syaikh Abdul
Wahhab juga menentang keras ajaran yang dikembangkan anaknya. Konon, ia
sudah mempunyai firasat buruk terhadap anaknya itu, yang ditengarai akan
membawa kesesatan dan kerusakan pada umat. Kakak kandungnya, Sulaiman
bin Abdil Wahhab juga masuk di barisan utama penentang ajaran Muhammad
bin Abdil Wahhab. Ia membantah habis-habisan ajaran adiknya itu. Di
antara bantahannya itu, ia tulis dalam kitab ash-Shawaiq al-Ilahiyah fi Radd ‘ala Wahhabiyah dan Fashl al-Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdil Wahhab dan sebagainya (Hal. 6).
Dalam perkembangannya setelah itu, ada 129 ulama kesohor dari madzhab empat yang menolak ajaran Wahabi. Dengan ratusan kitab, mereka menelanjangi doktrin yang diajarkan Muhammad bin Abdil Wahhab (Hal. 49).
Kendati demikian, Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya ramai-ramai mengingkari dan membantah kitab-kitab yang mementahkan doktrin mereka. Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Nyatanya, sampai kini Wahabi tetap eksis, malah penetrasinya semakin meluas. Itu karena didukung oleh Kerajaan Arab Saudi. Di Indonesia, ajaran Wahabi yang dibawa oleh “santri-santri” Timur-Tengah bermetamorfosis menjadi Salafi.
Dalam perkembangannya setelah itu, ada 129 ulama kesohor dari madzhab empat yang menolak ajaran Wahabi. Dengan ratusan kitab, mereka menelanjangi doktrin yang diajarkan Muhammad bin Abdil Wahhab (Hal. 49).
Kendati demikian, Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya ramai-ramai mengingkari dan membantah kitab-kitab yang mementahkan doktrin mereka. Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Nyatanya, sampai kini Wahabi tetap eksis, malah penetrasinya semakin meluas. Itu karena didukung oleh Kerajaan Arab Saudi. Di Indonesia, ajaran Wahabi yang dibawa oleh “santri-santri” Timur-Tengah bermetamorfosis menjadi Salafi.
Buku ini patut dibaca oleh umat Islam yang menginginkan kedamaian dan
menjunjung tinggi pluralitas agar bisa berhati-hati terhadap sepak
terjang dan pengaruh Salafi. Ditulis dengan mengambil referensi
kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh Wahabi yang sudah insyaf atau
sejarawan Wahabi, sehingga “kabar” mengenai radikalisme kekejaman Wahabi
bisa dipertanggug jawabkan.
.
.
Judul: Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi, Sejarah, Doktrin dan Akidah
Penerbit: Khalista, Surabaya
Penulis: Achmad Imron R.
Cetakan: April 2014
Tebal: xxviii + 303 hlm.
Peresensi: Aryudi A. Razaq, kontributor NU Online Jember
Penerbit: Khalista, Surabaya
Penulis: Achmad Imron R.
Cetakan: April 2014
Tebal: xxviii + 303 hlm.
Peresensi: Aryudi A. Razaq, kontributor NU Online Jember

0 Response to "Rekam Jejak Sang Perusak - Radikalisme Salafi Wahabi"
Post a Comment