Masalah pendidikan, khususnya yang menyangkut agama Islam selalu menghadapi tantangan dan problematika yang tidak kunjung henti. Ia senantiasa aktual dengan berbagai perkembangan dan perubahan kehidupan manusia, karena ia memang merupakan kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia sebagai sarana mempertahankan "karamah" yang diberikan oleh Allah. Meskipun karamah manusia diberikan menyatu dengan eksistensinya, secara fungsional ia tidak bisa berkembang secara alami, melainkan harus melalui proses. Satu-satunya jalan untuk itu adalah melalui pendidikan.
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap dan perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), Islam (syari'at) dan ihsan (akhlaq, etika dan tasawuf). Tujuan pokoknya adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram (mulia) yang berarti lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam.
Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain.
Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab.
Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain.
Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab.
Bila pendidikan dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku secara sistematis, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan sistem yang mengarah pada terbentuknya karakter, sikap dan perilaku peserta didik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam baik yang bersifat affektif, kognitif maupun psiko-motorik. Pada gilirannya, pendidikan Islam merupakan produk pengembangan kepribadian muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi.
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar”. Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, "Barang siapa mendidik seorang anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak". Sementara Allah dalam surat al-Jumu'ah ayat 2 berfirman: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan benar-benar mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata".
Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.
Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi'at murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai mata pelajaran yang menjadi bidangnya.
Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.
Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi'at murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai mata pelajaran yang menjadi bidangnya.
Dari sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik).
Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif. Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis.
Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif. Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis.

0 Response to "Profesionalisme Guru Agama Islam"
Post a Comment